jam

26/07/11

Nasihat Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan: Pahami Aqidah Terlebih Dulu

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan pernah ditanya:
“Pada masa-masa belakangan ini kita perhatikan para pemuda cenderung lalai dan malas mempelajari aqidah, enggan mendalaminya, dan sangat kurang mencurahkan perhatian mereka kepadanya. Mereka justru sibuk dengan urusan-urusan lain. Apakah nasihat Anda bagi para pemuda seperti mereka ini?”

Beliau menjawab: Saya menasihatkan kepada para pemuda dan kaum muslimin yang lainnya agar memberikan perhatian terhadap aqidah terlebih dulu sebelum segala sesuatu. Dikarenakan aqidah adalah landasan yang menjadi penopang tegaknya seluruh amal, untuk diterima atau ditolak. Apabila aqidah tersebut benar dan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan secara khusus bersesuaian dengan ajaran sang penutup para rasul yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua amalan itu akan diterima jika amal-amal tersebut ikhlas untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan sesuai dengan syariat Allah dan rasul-Nya. Sedangkan apabila aqidah itu rusak atau sesat dikarenakan dibangun di atas sikap membebek dan taklid kepada nenek moyang dan leluhur semata, atau karena aqidah itu ternodai kesyirikan, apabila demikian maka amal-amal tersebut akan tertolak dan tidak akan diterima barang sedikitpun, meskipun pelakunya ikhlas dan benar-benar menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Hal itu dikarenakan Allah tidak akan menerima amalan kecuali apabila ikhlas untuk mengharap wajah-Nya yang mulia serta benar yaitu sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu barang siapa yang menginginkan keselamatan bagi dirinya serta menghendaki amal-amalnya diterima dan sangat ingin menjadi seorang muslim yang sejati maka wajib baginya untuk menaruh perhatian besar terhadap masalah aqidah, yaitu dengan cara memahami aqidah yang benar serta hal-hal yang bertentangan dengannya, yang dapat membatalkannya dan bisa menggerogotinya, sampai dia bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah tersebut. Dan hal itu tidak akan bisa dicapai tanpa mempelajarinya dari para ulama serta para pemilik pengetahuan yang mendalam yang mengambil ilmu tersebut dari kalangan pendahulu umat ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, sesunguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan minta ampunlah atas dosamu dan dosa kaum beriman yang lelaki maupun yang perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Bahkan Imam Al-Bukhari telah membuat sebuah judul bab khusus di dalam kitabnya di mana beliau berkata, ‘Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan’. Dan beliau menyitir ayat yang mulia ini. “Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah,” di dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala memulai dengan ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling mewasiatkan dalam hal kebenaran dan saling mewasiatkan dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)
Di dalamnya Allah menjanjikan keselamatan dari kerugian bagi orang yang memenuhi empat kriteria:
Kriteria pertama: iman, yang itu berarti memiliki keyakinan yang benar. Kriteria kedua: amal shalih serta ucapan yang shalih. Disebutkannya ucapan dan amal shalih sesudah iman merupakan gaya bahasa penyebutan kata yang khusus setelah kata yang bersifat umum; sebab amal adalah bagian dari iman, penyertaan ini bertujuan untuk menunjukkan agungnya kedudukan amal.
Kriteria ketiga: dan saling menasihati dalam kebenaran, yaitu mereka berdakwah ilallah, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Setelah mereka memperhatikan kepentingan diri mereka sendiri terlebih dahulu, dan setelah mereka mengerti jalan yang benar maka mereka pun kemudian mengajak orang lain untuk menjalani hal itu, sebab seorang muslim itu juga dibebani tugas untuk mendakwahi manusia kepada ajaran Allah subhanahu wa ta’ala, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.
Dan mereka saling menasihatkan untuk menetapi kesabaran, inilah kriteria yang keempat, yaitu bersabar dalam menghadapi resiko lelah dan kesulitan dalam menjalani perkara tersebut. Tidak ada kebahagiaan bagi seorang muslim kecuali apabila dia telah merealisasikan keempat kriteria ini.
Adapun menaruh perhatian besar terhadap wawasan/tsaqafah umum dan berita-berita surat kabar dan juga ucapan-ucapan orang dan berbagai peristiwa di dunia, maka sesungguhnya hal itu boleh saja ditelaah apabila seorang insan telah benar-benar mewujudkan tauhid dan membenahi aqidah, barulah dia bisa melihat-lihat hal-hal tersebut dalam rangka mengenali kebaikan dan keburukan, atau dalam rangka memperingatkan umat dari kejelekan-kejelekan dan seruan-seruan kesesatan yang bertebaran di masyarakat. Akan tetapi hal itu dapat dilakukannya apabila dia telah mempersenjatai diri dengan ilmu, serta keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang memaksakan diri menelaah persoalan dan berita koran semacam itu atau menyelami dunia politik namun dalam keadaan tanpa berbekal ilmu yang benar tentang aqidahnya dan tanpa bekal ilmu tentang ajaran agamanya, maka sebenarnya perbuatannya itu tidak akan bermanfaat baginya barang sedikitpun. Bahkan dia telah menyibukkan diri dalam suatu urusan yang tidak ada faedahnya baginya, dan dia tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang batil.
Kebanyakan orang yang tidak mengerti aqidah dan terlalu mencurahkan perhatian mereka untuk mengurusi persoalan-persoalan semacam ini telah terjerumus dalam kesesatan dan bahkan menyesatkan orang. Mereka telah membuat pengaburan kepada manusia, hal itu terjadi karena sebenarnya mereka tidaklah memiliki ilmu dan keterangan yang bisa dipakai untuk memilah antara yang berbahaya dengan yang bermanfaat, mana yang harus diambil dan mana yang harus ditinggalkan serta bagaimanakah cara untuk mengatasi persoalan. Oleh sebab itu muncullah berbagai kejanggalan serta kekaburan pada kebanyakan orang. Itu semua terjadi disebabkan mereka menerjuni persoalan tsaqafah dan dunia perpolitikan sementara mereka tidak mempunyai bekal ilmu tentang aqidah mereka dan pemahaman yang bersumber dari ajaran agama mereka, sehingga akhirnya mereka menyangka suatu kebenaran sebagai kebatilan, dan sebaliknya; menyangka suatu kebatilan sebagai kebenaran.
Sumber: Al Muntaqa min Fatawa Al Fauzan, jilid 1, islamspirit.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar